Cari Blog Ini

Arsip Blog

Minggu, 17 Juli 2011

Makalah Masyarakat Madani


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Munculnya makalah ini dilatarbelakangi oleh adanya kemelut yang diderita oleh ummat manusia seperti meluasnya kejahatan, sikap melampaui batas dan tidak toleran, kemiskinan dan kemelaratan, ketidakadilan dan kebejatan sosial, kebodohan, kelesuan intelektual dan kemiskinan budaya. Kezaliman akibat kediktatoran atau kezaliman yang timbul daru runtuhnya atau ketidakadaan order politik serta peminggiran rakyat dari proses politik.
Dengan melihat masalah tersebut diatas, maka penyusun merasa perlu untuk membuat makalah yang berjudul Masyarakat Madani ini.

B.     Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian Masyarakat Madani ?
2.      Bagaimana Fungsi Masyarakat Madani Dalam Negara ?
3.      Apa saja prinsip-prinsip masyarakat madani ?
4.      Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat madani?

C.    Tujuan Penulisan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk mengetahui Pengertian Masyarakat Madani, Fungsi dan prinsip-prinsip masyarakat madani serta nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat madani.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani; konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. (Aswab Mahasin, 1996) konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini merupakan sebuah potret bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih lanjut Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah system social yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti Undang Undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency system.
Sekilas perwujudan masyarakat Madinah itu, yaitu diawali ketika Rosulullah hijrah dari Mekkah menuju kota Yatsrib (sekarang Madinah al Munawwarah). Karena itu, Rosulullah Muhammad SAW dalam berdakwah di Mekkah selalu mendapatkan rintangan dari kaum kafir, kemudian Muhammad hijrah ke Yatsrib. Di sini Nabi Muhammad SAW mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat setempat, sehingga memudahkan Muhammad untuk berdakwah dan siap menyusun sendi-sendi Masyarakat Madani.

B.     Fungsi Masyarakat Madani Dalam Negara
Adapun fungsi masyarakat Madani dalam sebuah Negara dapat ideskripsikan sebagai berikut, yaitu : pertama, meniadakan ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat. Kedua, melindungi kepentingan penduduk yang universal. Kepentingan tersebut meliputi elemen sipil, politik dan social.
Sebagaimana digambarkan oleh Anthony Giddens; Pembaharuan masyarakat Madani mensyaratkan adanya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat madani, pembaharuan komunitas dengan meningkatkan prakarsa local, keterlibatan sector ketiga, perlindungan ruang public local, pencegahan kejahatan dengan basis komunitas dan adanya keluarga yang demokratis (Anthony Giddens, 1999).
Dengan demikian, maka peradaban yang besar adalah peradaban yang menciptakan lingkungan yang cocok secara politik, social, ekonomi, cultural dan material dan mengantarkan seseorang bias mengamalkan pesan perintah-perintah Tuhan dalam seluruh aktifitasnya, tanpa harus dirintangi oleh institusi-institusi masyarakat. Insitutsi-institusi tersebut tidak boleh menyebabkan adanya kontadiksi antara keyakinan agama dan perbuatan, atau menekan seseorang untuk menyimpang dari kewajiban-kewajibannya terhadap Allah, Tuhan sekalian alam. Bagaimanapun majunya suatu peradaban dalam sains, literature dan seni; bagaimanapun warna-warninya pencapaian dalam arsitek, perlengkapan, pakaian dan makanan; bagaimanapun jauhnya peradaban itu meraih kemajuan material; dalam pandangan sejarawan muslim, itu tetap “terbelakang” dan “kurang” jika tidak mnyediakan lingkungan yang kondusif untuk pengabdian terhadap Tuhan dan pengamalan ajaran-ajaran-Nya yang terkandung dalam pesan syariat. (Akram Dhiyauddin Umari, 1999). Artinya dalam hal ini , menciptakan masyarakat yang memiliki dimensi ganda yakni dimensi kemanusiaan dan dimensi ke-Tuhanan, dimensi material dan spiritual, dimensi lahiriah-batiniah dan sebagainya.

C.    Prinsip-Prinsip Masyarakat Madani
Masyarakat Madani yang dicontohkan oleh Nabi pada hakekatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenal supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang Negara. Meskipun secara eksplisit islam tidak berbicara tentang konsep politik, namun wawasan tentang demokrasi yang menjdi elemen dasar kehidupan politik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya. Wawasan yang dimaksud tercermin dalam prinsip-prinsip Masyarakat Madani adalah; persamaan (equality), kebebasan, hak-hak asasi manusia serta prinsip musyawarah.
1.      Persamaan (equality)
Prinsip persamaan ini bisa ditemukan dalam suatu ide bahwa setiap orang tanpa memandang jenis kelamin, nasionalitas atau status semuanya adalah mahluk Tuhan. Dalam islam Tuhan menegaskan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa” (Al-Hujurat,49:13). Nilai dasar ini dipandang memberikan landasan pemahaman bahwa di mata Tuhan manusia memiliki derajat yang sama. Pemahaman inilah yang kemudian muncul dalam Hadits Nabi yang menegaskan bahwa “tidak ada kelebihan antara orang arab dan orang yang bukan orang arab kecuali takwanya”. Dari sini kemudian dipahami bahwa islam memberikan dasar konsep tentang ekualitas. Berbeda dengan konsep ekualitas yang ada pada masyarakat Yunani, ekualitas yang ada dalam islam, misalnya, bukan menjadi subordinasi dari keadaan apa pun yang datang sebelumnya. Ekualitas menurut orang-orang Yunani hanya berarti dalam tatanan hukum. Dalam hal ini Hannah Arendt mengatakan bahwa bukan karena semua manusia lahir dalam keadaan sama, tetapi sebaliknya, karena manusia pada dasarnya memang tidak sama. Karena itu memerlukan sebuah institusi artifisial, polis untuk membuatnya sama (Hannah Arend,1963). Persamaan ini hanya ada di bidang politik yang memungkinkan orang bertemu satu sama lain sebagai warga negara dan bukan sebagai pribadi secara individual. Perbedaan antar konsep ekualitas Yunani Kuno dengan Islam terletak pada ide bahwa manusia lahir dan diciptakan sama dan menjadi tidak sama karena nilai sosial dan politik, yang merupakan institusi buatan manusia. Ekualitas yang terdapat dalam masyarakat Yunani merupakan sebuah atribut kemasyarakatan dan bukan perorangan, yang memperoleh ekualitasnya berdasarkan nilai kewarganegaraan dan bukan diperolehnya sejak lahir. Meskipun di dalam Islam ditemukan bahwa ekualitas juga terkait dengan pra-kondisi politik, yaitu keanggotaan di dalam ummah, tetapi pra-kondisi ini bisa dicapai oleh setiap orang hanya dengan jalan menyatakan masuk islam. Sementara dalam tradisi Yunani jalan untuk mencapai dunia politik, yang merupakan pra-kondisi nilai ekualitas, hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kekayaan dan budak belian, sebuah kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan.
2.      Kebebasan dan Hak Asasi Manusia
Dasar ajaran mengenai kebebasan ini memperoleh momentum penting dalam sejarah umat manusia, yang selalu diwarnai oleh tindakan pembelengguan hak serta kebebasan manusia. Sejarah mencatat bahwa mereka yang menjadi sasaran ketidakadilan selalu berada pada pihak kaum yang lemah. Budak oleh tuannya, kaum miskin oleh mereka yang kaya, rakyat oleh penguasa, yang bodoh oleh yang pandai, yang miskin spiritual dan agama oleh kaum pendeta atau ulama. Dunia seakan-akan tidak pernah kosong dari tindakan semena-mena manusia terhadap sesamanya, dalam kekaisaran Romawi kuno sejarah menyaksikan bagaimana bayi yang lahir dalam keadaan cacat sering menghadapi resiko mati karena kebijaksanaan kaisar yang menghendaki keperkasaan karena tuntutan perang. Di Mesir Kuno pernah diberlakukan perintah untuk membunuh bayi laki-laki hanya karena Fir’aun takut tergeser dari singgasananya. Sebaliknya di Arab Jahiliyah wanita dianggap tidak ada nilainya untuk sebuah harga diri bagi kehidupan bersuku, akibatnya setiap bayi perempuan lahir harus dikubur hidup-hidup.
Pengalaman hidup manusia seperti yang disebutkan di atas dan kondisi sosial masyarakat Arab sewaktu Islam muncul, yang sarat dengan perbudakan, memberikan suatu pemahaman bahwa secara semantis makna bebas (hurr) yang dimaksud oleh Islam itu berlawanan dengan budak (‘abd). Bukankah salah satu misi penting sosial Islam adalah membebaskan perbudakan. Selain wawasan kebebasan seperti yang dimaksudkan ini, sejak periode awal Islam beberapa pemikir Muslim juga mengembangkan doktrin ikhtiyar (pilihan atau kebebasan berkehendak), yang juga merupakan sebuah prakondisi substantif diterimanya konsep kebebasan seperti yang dipahami filsafat politik barat.

3.      Prinsip Musyawarah
Al Qur’an tidak mentolelir adanya perbedaan antara yang satu dengan yang lain, laki atau wanita atas partisipasi yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan pandangan ini, Al Qur’an menegaskan tentang prinsip syura (musyawarah) untuk mengatur proses pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat madani. Sayangnya, selama berabad-abad, dikalangan kaum muslimin telah tumbuh kekliruan fatal dalam menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka memahami bahwa syura sama dengan seorang penguasa berkonsultasi dengan orang-orang yang menurut pandangan mereka, yang sangat bijaksana dan tidak ada keharusan untuk mengimplementasikan nasehat mereka. Pandangan ini menurut Fazlur Rahman, jelas merusak makna syura itu sendiri.
Semasa pemerintahan Bani Umaiyah (41-132/661-750) tuntutan semacam ini tidak hanya terbatas pada perluasan penaklukan tetapi juga termasuk konsolidasi politik-militer ke dalam, karena sepanjang sejarah pemerintahan Umaiyah terjadi pemberontakan yang terus menerus. Pemerintah Umaiyah mengubah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para khalifah terdahulu dengan memaksakan logika politinya sendiri yang dalam beberapa hal tidak memberikan kesempatan adanya partisipasi masyarakat. Kalau ada musyawarah, maka institusi ini hanya dilakukan dengan mereka yang mendukung rejim penguasa. Kenyataannya musyawarah kemudian menjadi komoditas politik yang Al Qur’an sendiri melarangnya. Perkembangan inilah yang kemudian mewarnai hubungan antara penguasa dan rakyat, yakni hubungan yang pada dasarnya berasal dari atas ke bawah, yang sesungguhnya bertentangan dengan makna syura itu sendiri.

D.    Nilai-Nilai Masyarakat Madani
1.      Demokrasi
Dampak praktis kehidupan politik Islam pada abad pertengahan nampaknya masih sangat membekas dalam kehidupan bernegara di dunia Islam sekarang ini. Meskipun masyarakat muslim sekarang sudah terbatas dari dominasi asing (secara fisik) dan memiliki pemerintahannya sendiri, tetapi hampir semua mereka ini dihadapkan pada problem internal, yaitu “kurang demokratis”. Kecuali Turki, kata Bernard Lewis, semua negara yang mayoritas penduduk muslim dipimpin oleh variasi dari rejim otoriter, otokrasi, despotis dan sebangsanya.(Bernard Lewis, 1996). Dari kalangan sosiolog, dunia Islam digambarkan telah mengalami masa transisi dari masyarakat yang berorientasi pada ekonomi moneter dan masyarakat demokratis kepada sebuah masyarakat agraris dan rejim militer. Dua kecenderungan yang mencerminkan watak masyarakat yang berbeda, yang pertama lebih bersifat dinamis dan rasional sedang yang kedua menggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti yang disebutkan di atas itu seakan-akan mengasumsikan bahwa Islam tidak mengenal pemerintahan yang demokrasi. Meskipun benar diakui bahwa konsep demokrasi masih juga menjadi salah satu isu perdebatan antara yang setuju dan yang menentang.
Sejak kira-kira abada ke-19, beberapa pemimpin reformist Muslim menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan Islam dalam sektor kehidupan umum, pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan atas kehendak rakyat banyak. Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan bagi kaum reformist seperti Jama al-Din al-Afghani adalah karena tanpa partisipasi rakyat di dalam pemerintahan, maka negara Islam tidak akan kuat untuk menghadapi tekanan Barat. Alasan yang lain, agar kemajuan internal bisa dicapai, karena tanpa kemajuan, negara Islam akan tetap lemah, maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan.
2.      Pluralisme dan Toleransi
Istilah “Masyarakat Madani” dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks asal istilah itu muncul. Oleh karena itu, pemaknaan lain diluar derivasi konteks asalnya akan  merusak makna aslinya. Ketidaksesuaian pemaknaan ini tidak hanya menimpa pada kelompok masyarakat yang menjadi sasaran aplikasi konsep tersebut tetapi juga para interpreter yang akan mengaplikasikannya. Hal lain yang berkaitan dengan perbedaan aplikasi kedua konsep masyarakat ini adalah bahwa civil society telah teruji secara terus menerus dalam tatanan kehidupan sosial politik barat hingga mencapai maknanya yang terakhir, yang turut membidani lahirnya peradaban Barat Modern. Sedangkan masyarakat madani seakan merupakan keterputusan konsep ummah yang merujuk pada masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad, idealisasi tatanan masyarakat madinah ini didasarkan atas keberhasilan Nabi mempraktekkan nilai-nilai keadilan, ekualitas, kebebasan, penegakan hukum dan jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kaum lemah dan kelompok minoritas. Meskipun secara ideal eksistensi masyarakat Madinah ini hanya sebentar tetapi secara historis memberikan makna yang sangat penting sebagai rujukan masyarakat di kemudian hari untuk membangun kembali tatanan kehidupan yang sama. Dari pengalaman sejarah Islam masa lalu ini, masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad secara kualitatif dipandang oleh sebagian kalangan intelektual muslim sejajar dengan konsep civil society.
Dasar tatanan masyarakat madani memperoleh legitimasi kuat pada landasan tekstual (nass) Al Qur’an maupun hadits dan praktek generasi awal Islam. Landasan ini tercermin dalam sikap budaya dan agama (cultural and religious attitude) seperti toleran dan pluralis, serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Fazlur Rahman (1980), misalnya, mengidentifikasikan sikap ini dari simpulan makna beberapa ayat Al Qur’an dan menegaskan bahwa “karena semua ajaran Nabi berasal dari sumber yang sama, maka Nabi Muhammad memerintahkan ummatnya untuk meyakini semua wahyu Allah yang diturunkan kepada para Nabi”. Al Qur’an mengatakan bahwa Muhammad meyakini tidak hanya kitab Taurat dan Injil tetapi juga kepada semua yang diturunkan Allah (al-shura:15). Dalam pandangan Al Qur’an kebenaran serta petunjuk Tuhan tidak terbatas pada kaum tertentu tetapi secara universal berlaku untuk semua umat manusia: “tidak ada suatu ummat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan” (Fatir:24); karena bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk (al-Ra’d:7). Fazlur Rahman mengatakan bahwa kata “kitab” yang sering digunakan dalam Al Qur’an tidak untuk menunjuk kitab wahyu tertentu tetapi merupakan istilah generik yang menjelaskan totalitas wahyu Allah (al-Baqarah:213).
Sikap toleran dan pluralis seorang muslim terhadap agama dan pendapat pemeluk agama lain jelas mendapat legitimasi dari ayat-ayat Al Qur’an dan preseden yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Salah satu tindakan pertama Nabi untuk mewujudkan masyarakat Madinah ialah menetapkan dokumen perjanjian yang disebut Piagam Madinah (Mitshaq al-Madinah), yang terkenal dengan “Konstitusi Madinah” Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama yang ada di dunia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi.
3.      Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)
Konsep masyarakat madani dewasa ini telah mengambil peran sebagai sebuah agenda cita-cita masyarakat yang modern untuk Indonesia baru. Sekalipun masyarakat madani telah tiada secara fakta saat ini,  tetapi hikmah-hikmahnya tetap masih menyinari aspek-aspek masyarakat modern. Sebagaimana contoh yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, contoh yang paling mudah dideteksi adalah konsep tentang hak asasi manusia. Dari segi pelaksanaan misi suci beliau, puncak karier Rosulullah saw, ialah terselenggaranya “pdato perpisahan” yakni (khutbah al-wada). Dalam pidato itulah pertama kalinya manusia diperkenalkan dengan konsep “hak-hak asasi”, dengan inti dan titik tolak kesucian “hidup, harta dan martabat kemanusiaan (ad-dima’ wa al-amwal wa al-a’radh), yang apabila dibahasa inggriskan akan terbaca : life, property and dignity atau life, fortune and sacred honor.”(Nurkholis Majid, 1996).
Dalam pidato itulah Nabi menegaskan tugas suci beliau untuk menyeru ummat manusa kepada jalan Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati apa yang menjadi hak-hak suci sesama umat manusia, lelaki dan perempuan. Isi pidato yang dikutip Nurcholish Madjid dari Ali Jarisyah dalam “Hurumat La Huquq” yakni: “.... sesungguhnya darahmu, harta bendamu dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti sucinya hari (haji)mu ini, sampai tibanya hari kamu sekalian bertemu dengan Dia:. (Nurcholis Madjid,1995) kemudian fondasi hak-hak asasi manusia ini, diperkuat oleh Dekrit Tuhan, dari peristiwa pembunuhan pertama sesama manusia (oleh Qabil terhadap Habil).
“...... barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya .....” (Al-Maidah:27-31).
Keagungan konsep hak-hak asasi manusia dengan martabatnya yang tinggi itu, kata Nurcholish Madjid menyebar ke Barat melalui falsafah kemanusiaan Giovani Pico Della Mirandolla dan sebagian melalui filsafat John Locke. Maka dari itu jika kita menginginkan negar kita menuju masyarakat modern, ada baiknya jika kita merenungkan lebih mendalam bagaimana keindahan dan ketajaman hikmah-hikmah pidato perpisahan nabi dalam membangun hak-hak asasi manusia secara universal. Sehingga ikatan batin yang mendalam pada hak-hak asasi manusia tidak akan terwujud jika tidak dipandang sebagai pandangan hidup (way of life). Oleh karena itu, kesadaran tentang hak-hak asasi menuntut kemampuan pribadi bersangkutan untuk menerima, meyakini dan menghayati sebagai bagian dari rasa makna dan tujuan (sense of meaning and purpose) hidup pribadinya.
Makna dan tujuan kemanusiaan perlu ditegaskan, bahwa rasa kemanusiaan haruslah berlandaskan rasa ketuhanan. Malah kemanusiaan sejati hanya terwujud jika dilandasi dengan rasa ketuhanan itu. Sebab rasa kemanusiaan ataupun antroposentrisme yang lepas dari rasa ketuhanan atau teosentrisme akan mudah terancam untuk tergelincir kepada praktek-praktek pemutlakan sesama manusia, sebagaimana pernah didemonstrasikan oleh eksperimen-eksperimen komunis (yang “ateis”).(Nurcholis Madjid, 1992). Dari sinilah kemudian hak asasi manusia sebagai elemen utama masyarakat madani harus didasarkan pada nilai dasar kemanusiaan universal itu.
4.      Keadilan Sosial
Dalam artian etimologis, menurut Nurcholish Madjid, ‘adil’ ialah “tengah” atau “pertengahan”, sehingga orang yang berkeadilan adalah orang yang sanggup berdiri di tengah tanpa secara a priori memihak.(Nurcholish Madjid, 1992). Lebih lanjut Harun Nasution memotret keadilan dalam bahasa indonesia, hakekatnya berasal dari bahasa arab al-‘adl yang berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus. Orang yang adil adalah orang yang tidak dipengaruhi hawa nafsunya, sehingga ia tidak menyimpang dari jalan lurus dan dengan demikian bersikap adil. Oleh karena itu al-‘adl mengandung arti menentukan hukum dengan benar dan adil, juga berarti mempertahankan hak yang benar. Sehingga berlaku adil artinya tidak menggunakan standar ganda. Katakanlah yang jahat itu jahat, juga sebutlah yang baik itu baik, sekalipun dipraktikkan oleh musuh-musuh kita. Maka adil dalam pandangan islam ialah setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya. Bukan setiap orang memperoleh bagian yang sama besarnya. Ini menunjukkan islam menghargai ikhtiar. Setiap orang  berhak beroleh kontra prestasi sebanding dengan prestasi yang diberikannya. Adapun prestasi adalah upaya-upaya yang wajar dalam sebah kompetisi yang jujur. Bukan hasil prestasi namanya jika beroleh sesuatu karena fasilitas.
Relevansi keadilan sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yakni sangatlah dibutuhkan mengingat, perasaan teringkari dan juga diperlakukan secara tidak adil akan dengan sendirinya membuka pintu bagi adanya “wawasan revolusioner”. Yakni suat wawasan yang karena terpusat kepada usha mengubah yang tidak adil menjadi adil yang akan berdampak kepada memudarnya disiplin karena setiap aturan akan dipandang hanya menguntungkan mereka yang sedang beruntung. Maka dengan perkara perwujudan cita-cita dasar kita untuk bernegara yaitu “dengan mewujudkan keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia dipandang sangatlah signifikan. Dari sudut agama, masalah ini terkait dengan ‘hukum Allah’ (sunnatullah) bahwa kehancuran suatu masyarakat biasanya dimulai oleh tidak adannya keadilan sosial dalam masyarakat, akibat dari tingkah laku orang-orang kaya yang tidak lagi peduli kepada kewajiban moral mereka untuk memperhatikan nasib orang miskin. Dan sikap mereka yang tidak menjaga perasaan umum kalangan yang kurang beruntung. Sebagai landasan teologisnya juga sebagai ciri khas metode untuk sandaran perwujudan masyarakat madani adalah ;
Dan jika kami (Tuhan) hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta’ati Allah) namun mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya keputusan (vonis Tuhan). Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS Al-Isra’:16)



BAB III
KESIMPULAN

Masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti Undang Undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency system.
Adapun fungsi masyarakat Madani dalam sebuah Negara dapat ideskripsikan sebagai berikut, yaitu : pertama, meniadakan ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat. Kedua, melindungi kepentingan penduduk yang universal. Kepentingan tersebut meliputi elemen sipil, politik dan sosial.
Masyarakat Madani yang dicontohkan oleh Nabi pada hakekatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenal supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang Negara. Meskipun secara eksplisit islam tidak berbicara tentang konsep politik, namun wawasan tentang demokrasi yang menjdi elemen dasar kehidupan politik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Jainuri. 2001. Dalam pengantar “Masyarakat Tamaddun : Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurkholis Madjid.”Yogyakarta:Pustaka Belajar dan LP2IF.

Ahmad, Mumtas ed. 1986. State, Politics and Islam. Indianapolis: American Trust Publications.

Arendt, Hannah. 1963. On Revolution. New York:tp.

Aquinas, St Thomas. 1948. Selected Political Writings, diedit oleh A.P.D Entreves. Oxford.

Esposito, John L. 1990. Islam dan Politik, terj. Joesoef Sou’yb. Jakarta:Bulan Bintang.

Gautama, Sidarta dan Aries Budiono. 1999. Moralitas Politik dan Pemerintahan yang bersih. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Gauillaume, Alfred. 1970. The Life of Muhammad. Lahore: Oxford University Press.

Giddens, Anthony. 1999. The Third Way : Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya Mahardika. Jakarta : Gramedia.

Lewis, Bernard. 1996. Islam and Liberal Democracy: A Historical Overview Journal of Democracy.

Madjid, Nurcholish. Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan. Bandung : Pustaka Hidayah.

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan. Jakarta : Paramadina.

Madjid, Nurcholish, 1995. Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Semangat Keagamaan. Jurnal Islamika, no. 6.

Madjid, Nurcholish, 1996. “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Ulumul Qur’an, no. 2/VII.

Madjid, Nurcholish. 1999. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta : Paramadina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar