Cari Blog Ini

Arsip Blog

Minggu, 17 Juli 2011

Makalah Penulisan Al-Qur'an


BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Syekh Abu Abdullah al-Zanjani orang Mesir Kuno mempunyai tiga macam jenis tulisan, yaitu yang pertama tulisan Hyeroglif adalah tulisan yang dipakai khusus oleh para pemuka agama, yang kedua tulisan Herotik adalah jenis tulisan resmi yang dipakai dikantor-kantor pemerintahan, dan yang ketiga tulisan Demotik biasa digunakan oleh masyarakat umum. Di dalam sejrahnya, dari tiga jenis tulisan yang dimiliki orang mesir kuno itu, Demotiklah yang dianggap sebagai bagian penting dari cikal bakal khat (tulisan) Arab.
Kata Al-Zanjani, para sejarawan Arab mengemukakan bahwa tulisan Arab dikenal di Makkah melalui seorang bernama Harb bin Umayyah bin Abu al-Syams. Dan Harb belajar kepada Bisyr bin abd al-malik, saudara Ukaidir, si tokoh Doumatu al-jandol.
Sampai dengan islam dating, penduduk Makkah telah banyak yang mengausai tulisan yang dibawa Harb ini, sekalipun tak sedikit pula yang amsih tetap (ummiy) buta huruf, yakni tidak mampu baca tulis, termasuk Rosulullah saw. Tentang ummiy-nya Rosulullah saw justru bagi beliau dan bagi islam merupakan suatu yang positif. Kalau saja orang yang mengemban wahyu ini mampu membaca dan menulis tentu para pembangkangnya mempunyai alas an untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu tidak lain hasil produk Muhammad saw.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penulisan Al-Qur’an di Zaman Rasulullah
Untuk penulisan Al-Qur’an, Rasulullah saw mengangkat beberapa orang sebagai juru tulis. Tugas mereka, merekam dalam bentuk tulisan, semua wahyu yang diturunkannya kepada Rasulullah saw. Alat-alat yang mereka gunakan masih sangat sederhana, para sahabat menulis ayat Al-Qur’an pada uslub (pelepah kurma), likhaf (batu halus yang berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipasang diatas punggung unta).
Zaid bin Tsabit yaitu salah seorang juru tulis wahyu yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah saw, menuturkan pengalamannya dalam riwayat Al-Bukhari sebagai berikut : “Dahulu kami disisi Rasulullah saw menyusun Al-Qur’an dari riqa’ (kulit). Aku mengumpulkannya dari riqa’, aktaf (tulang unta) dan hafalan-hafalan orang. Untuk menghindari kerancuan akibat bercampur aduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan lainnya, misalnya Hadits Rasulullah saw, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apa pun selain Al-Qur’an.
Larangan Rasulullah saw untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an ini, oleh Dr. Adnan Muhammad Zurzur dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin nilai akurasi Al-Qur’an. Setiap kali turun ayat Al-Qur’an Rasulullah saw memanggil “juru tulis” wahyu, setelah memanggil mereka Rasulullah saw berpesan, agar meletakkan ayat-ayat yang turun itu diSurah yang beliau sebutkan. Menurut Al-Suyuthiy, keseluruhan Al-Qur’an telah ditulis sejak zaman Rasulullah saw, hanya masih belum terhimpun didalam suatu tempat.

B.     Penghimpun Al-Qur’an di Zaman Abu Bakar
Setelah Rasulullah saw wafat, Abu Bakar al-Shiddiq terpilih menjadi Khalifah pertamanya, sejak hari-hari pertama sebagai kepala Negara, Abu Bakar telah dihadang masalah yang berat. Satu diantaranya adalah soal murtadanya sejumlah orang dari Islam, pasalnya Musailamah yang digelari Al-Kadzdzab atau si pembohong yang mengaku sebagai Nabi. Artinya bukan Muhammad saw yang diangkat sebagai Nabi yang terakhir oleh Allah. Musailamah berhasil memperdayai Bani Hanifah di Yamamah, dan mereka hanyut menjadi orang-orang murtad bersama-sama Musailamah si Nabi palsu itu.
Abu Bakar sebagai kepala Negara melihar gerakan Musailamah ini sebagai bahaya besar. Beliau bertekad menumpas gerakan itu (musailamah dan para pengikutnya yang murtad itu). Pada akhirnya Musailamah dan para pengikutnya dapat dilumpuhkan. Tapi saying pasukan Muslimin yang dikomandoi panglima Khalid bin Walid itu mengalami banyak korban jiwa. Sedikitnya 700 Hafidz Al-Qur’an gugur. Pengalaman pahit ini, oleh Umar segera dating menemui Abu Bakar, agar ia berkenan menginstruksikan pengumpulan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang disimpan di dalam hafalan maupun tulisan.
Zaid bin Tsabit diminta oleh Abu Bakar untuk menghimpun sebuah mushaf Al-Qur’an, awalnya Zaid ragu, tapi Allah telah melegakan hati Zaid tentang perlunya menghimpun Al-Qur’an. Apa yang dirasakan Zaid dapat dimengerti mengingat tanggung jawab yang harus dipikulnya, Zaid harus menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang tertulis dikayu, pelepah kurma, tulang dan batu. Selain itu zaid harus mencocokkan catatan yang ada padanya dengan yang dimiliki oleh sahabat lainnya. Dan yang tidak kalah beratnya, catatan-catatan tertulis itu harus pula dicocokkan dengan hafalan para sahabat. Tanggung jawab yang harus diemban semacam inilah yang membuat ia merasa diberi tanggung jawab yang lebih berat dari pada dibebani memindahkan sebuah gunung. Ini semua dilakukan sebagai terobosan untuk menjaga kesucian dan kelestarian Al-Qur’an.

C.    Penghimpunan Al-Qur’an di Zaman Utsman
Setelah Khalifah Abu Bakar wafat, mushaf itu berpindah ke tangan khalifah selanjutnya, yakni Umar bin al-Khatab. Setelah Umar bin Khatab wafat, mushaf itu tidak disimpan oleh khalifah selanjutnya, tapi disimpan oleh Hafsah, istri Rasulullah saw yang juga putrid Umar bin Khatab. Mengapa demikian?
Bahwa sebelum Umar wafat, Umar memberikan kesempatan kepada enam orang untuk bermusyawarah memilih seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan mushaf yang ada padanya kepada salh seorang diantara enam sahabat itu, ia khawatir diinterpretasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Maka ia menyerahkan mushaf itu kepada hafsah yang sesungguhnya lebih dari layak memegang mushaf itu yang sangat bernilai.
Pada masa pemerintahan Utsman ini, telah terjadi perbedaan bacaan Al-Qur’an yang diakibatkan oleh telah meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan masing-masing wilayah mempelajari bacaan Al-Qur’an tersebut dari guru yang berbeda-beda pula. Apabila perbedaan terhadap bacaan Al-Qur’an ini tetap dibiarkan, tentu bisa mengganggu persatuan dan kesatuan umat islam. Karena itu Hudzaifah bin al-Yaman setelah pulang dari peperangan menyarankan kepada khalifah agar segera mengusahakan penyeragaman bacaan Al-Qur’an dengan cara penyeragaman penulisannya. Sehingga begitu Hudzaifah menyampaikan usulnya, Utsman langsung menyetujuinya, ia lalu membentuk “panitia empat” yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash, dan Abd al-Rahman bin al-Harits. Pembentukan panitia ini diketahui oleh Zaid bin Tsabit dan juga bertugas untuk menyalin suhuf Al-Qur’an yang disimpan oleh Hafsah.
Kemudian penyalinan mushaf Al-Qur’an itu diambil berdasarkan informasi dan usulan Hudzaifah bin al-Yaman dan disalin menjadi beberapa mushaf, lalu dikirim ke ebebrapa daerah jelas sebagai jawaban guna menyeragamkan bacaan dan tulisan Al-Qur’an. Langkah Utsman lainnya,s emua mushaf yang ada ditarik dan diblokir. Sehingga dengan demikian kaum muslimin hanya mengenal satu mushaf saja. Beberapa riwayat mengatakan bahwa “panitia empat” berhasil menyalin enam (6) buah mushaf. Dan mushaf yang kemudian dikenal dengan sebutan “mushaf Utsmany” itu dikirim ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, dan Kuffah. Abdullah bin Mas’ud membantah membakar mushafnya. Tetapi kemudian Ibnu Mas’ud pun menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh Utsman semata-mata untuk menyatukan kalimat dan menutup celah-celah timbulnya perpecahan.
Utsman membakar Mushaf
Utsman melalui “panitia empat” yang dibentuknya berhasil menyalin dan menggandakan mushaf dan dikirimkan ke wilayah kekuasaannya. Kini tinggal satu lagi usaha Utsman yaitu membakar mushaf lainnya. Ia khawatir kalau-kalau mushaf yang bukan salinan “panitia empat” itu tetap beredar. Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.      Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
2.      Mengabaikan ayat yang bacaannya dinaskh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali dihadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
3.      Kronologi surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan surahnya berbeda dengan Mushaf Utsman.
4.      System penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi bacaan (qira’at) yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz Al-qur’an ketika turun.
5.      Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan (penjelasan nasikh-mansukh)


BAB III
KESIMPULAN

Tuisan-tulisan Al-Qur’an pada zamanRosulullah saw tidak terkumpul dalam satu mushaf, para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka (Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud) telah menghafal seluruh isi Al-Qur’an di masa rosulullah saw. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid adalah orang yang terakhir kali membacakan Al-Qur’an dihadapan Nabi diantara mereka yang disebutkan.
Alat-alat yang mereka gunakan masih sangat sederhana mereka menulis Al-Qur’an pada pelepah kurma, kulit, tulang unta, batu tulis berwarna putih, dan lontar dan sebagainya.
Penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar harus dihimpun kedalam satu mushaf Al-Qur’an. Khalifah menunjuk Zaid untuk menghimpun ayat-ayat. Selain itu harus mencocokkan catatan yang dimilikinya dengan yang dimiliki oleh sahabat, begitu pula dengan hafalan yang ada pada sahabat.
Pada masa Utsman terjadi pembakaran mushaf Al-Qur’an, karena terjadi perbedaan qira’at yang juga telah meluas wilayah kekuasaan islam dan masing-masing wilayah mempelajari bacaan Al-Qur’an dari guru yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar