Cari Blog Ini

Arsip Blog

Minggu, 17 Juli 2011

Makalah Bimbingan Konseling


BAB I
PENDAHULUAN


Salah satu dari berbagai masalah filsafat yang harus dihadapi konselor adalah bagaimana konselor menggunakan landasan filosofis sehubungan dengan perannya sebagai orang yang membantu orang lain (klien) dalam melakukan pilihan dan kebebasan, serta  sebagai pembentuk tingkah laku individu dalam hubungannya dengan orang lain. Pengkajian landasan filosofis bimbingan dan konseling ini difokuskan kepada pembahasan mengenai (1) makna, fungsi dan prinsip-prinsip filosofis, dan (2) hakikat manusia.





















BAB II
PEMBAHASAN


1.      Makna, Fungsi dan Prinsip-prinsip Filosofis Bimbingan dan Konseling
Kata Filosofis atau Filsafat adalah bahas arab yang berasal dari kata yunani : filosofic (philosophia). Dalam bahasa Yunani kata filosofia itu merupakan kata majemuk yang terdiri atas filo (philos)  dan sofia (shopos).  Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin mengetahui segala sesuatu. Sementara  sofia artinya kebijaksanaan  atau  hikmah. Dengan demikian filsafat itu artinya cinta kepada kebijaksanaan atau hikmah; atau ingin mengerti segala sesuatu dengan mendalam.
Mempelajari filsafat tidak hanya sebatas memikirkan sesuatu sebagai perwujudan dari hasrat atau keinginan untuk mengetahui sesuatu (curiosity, melainkan memang filsafat mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa (1) setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan, (2) keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri, (3) dengan berfilsafat dapat mengurangi salah paham dan konflik, dan (4) untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah. Dengan berfilsafat seseorang akan memperoleh wawasan dan cakrawala pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Keputusan tersebut mempunyai konsekuensi tertentu yang harus dihadapi secara penuh tanggung jawab.
Makna dan fungsi filsafat di atas dalam kaitannya dengan layanan bimbingan dan konseling, Prayitno dan Erman Amti (2003: 203-204) mengemukakan pendapat Belkin (1975) yaitu bahwa “Pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi kegiatan atau tindakan yang semuanya diharapkan merupakan tindakan yang bijaksana”. Untuk itu diperlukan pemikiran filsafat tentang berbagai hal yang tersangkut paut dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
Pemikiran dan pemahaman filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada khususnya, yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling dan dalam mengambil keputusan yang tepat. Di samping itu pemikiran dan pemahaman filosofis juga memungkinkan konselor menjadikan hidupnya sendiri lebih mantap, lebih fasilitatif, serta lebih efektif dalam penerapan upaya pemberian bantuannya.
John J. Pietrofesa el.al (1980: 30-31) mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang terkait dengan landasan filosofis dalam bimbingan yaitu sebagai berikut.
Objective Viewing. Dalam hal ini konselor membantu klien agar memperoleh suatu perspektif tentang masalah khusus yang dialaminya, dan membantunya untuk menilai atau mengkaji berbagai alternatif atau strategi kegiatan yang memungkinkan klien mampu merespon interes, minat atau keinginannya secara konstruktif. Seseorang akan berada dalam dilema apabila dia merasa tidak mempunyai pilihan. Melalui layanan bimbingan, seseorang (klien) akan dapat menggali atau menemukan potensi dirinya dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan yang baru dialaminya.
The Counselor must have the best interst of the client at heart. Dalam hal ini konselor harus merasa puas dalam membantu klien mengatasi masalahnya. Konselor menggunakan keterampilannya untuk membantu klien dalam upaya mengembangkan keterampilan klien dalam mengatasi masalah (coping) dan keterampilan hidupnya (life skills).
John J. Pietrofesa el.al (1980) selanjutnya mengemukakan pendapat James Cribbin tentang prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan itu sebagai berikut.
a.       Bimbingan hendaknya didasarkan kepada pengakuan akan kemuliaan dan harga diri individu (klien) dan atas hak-haknya untuk mendapat bantuan.
b.      Bimbingan merupakan proses pendidikan yang berkesinambungan. Artinya bimbingan merupakan bagian integral dalam pendidikan.
c.       Bimbingan harus respek terhadap hak-hak setiap klien yang meminta bantuan atau pelayanan.
d.      Bimbingan bukan prerogratif kelompok khusus profesi kesehatan mental. Bimbingan dilaksanakan melalui kerjasama, yang masing-masing bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.
e.       Fokus Bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan potensi dirinya.
f.       Bimbingan merupakan elemen pendidikan yang bersifat individualisasi, personalisasi dan sosialisasi.

2.      Hakikat Manusia
Pada uraian berikut dipaparkan beberapa pendapat para ahli atau mazhab konseling tentang hakikat manusia.
a.      Viktor E. Frankl  (Prayitno dan Erman Amti, tt: 207-208 ) mengemukakan bahwa hakikat manusia itu sebagai berikut.
1)      Manusia, selain memiliki dimensi fisik dan psikologis, juga memiliki dimensi spiritual. Melalui dimensi spiritualnya itulah manusia mampu mencapai hal-hal yang berada di luar dirinya dan mewujudkan ide-idenya.
2)      Manusia adalah unik, dalam arti bahwa manusia mengarahkan hidupnya sendiri.
3)      Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri.

b.      Sigmund Freud  mengemukakan sebagai berikut.
1)      Manusia pada dasarnya bersifat pesimistik, deterministik, mekanistik dan reduksionistik.
2)      Manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, dorongan-dorongan biologis, dan pengalaman masa kecil.
3)      Dinamika kepribadian berlangsung melalui pembagian enerji psikis kepada Id, Ego dan Superego yang bersifat saling mendominasi.
4)      Manusia memiliki naluri-naluri seksual (libido seksual) dan agresif; naluri kehidupan (eros) dan kematian (tanatos).
5)      Manusia bertingkah laku dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari rasza sakit (pleasure principle).

3.      Tujuan dan Tugas kehidupan
Prayitno dan Erman Amti (2002: 10-13) mengemukakan model Witner dan Sweeney tentang kebahagiaan dan kesejahteraan hidup serta upaya mengembangkan dan mempertahankannya sepanjang hayat. Menurut mereka, ciri-ciri hidup sehat sepanjang hayat itu ditandai dengan lima kategori tugas kehidupan, yaitu sebagai berikut.
1.      Spiritualitas. Dalam kategori ini terdapat agama sebagai sumber inti bagi hidup sehat. Dimensi lain dari aspek spiritualitas ini adalah (1) kemampuan memberikan makna kepada kehidupan, (2) optimis terhadap kejadian-kejadian yang akan datang, dan (3) diterapkannya nilai-nilai dalam hubungan antar orang serta dalam pengambilan keputusan.
2.      Pengaturan diri. Seseorang yang mengamalkan hidup sehat pada diriny terdapat ciri-ciri (1) rasa diri berguna, (2) pengendalian diri, (3) pandangan realistik, (4) spontanitas dan kepekaan emosional, (5) kemampuan rekayasa intelektual, (6) pemecahan masalah, (7) kreatif, (8) kemampuan berhumor, dan (9) kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat.
3.      Bekerja. Dengan bekerja seseorang akan memperoleh kauntungan ekonomis (terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan), psikologis (rasa percaya diri, dan perwujudan diri) dan sosial (status dan persahabatan).
4.      Persahabatan. Persahabatan merupakan hubungan sosial baik antar individu maupun dalam masyarakat secara lebih luas, yang tidak melibatkan unsur-unsur perkawinan dan keterikatan ekonomis. Persahabatan ini memberi tiga keutamaan kepada hidup yang sehat, yaitu (1) dukungan emosional, (2) dukungan material, dan (3) dukungan informasi.
5.      Cinta. Dengan cinta hubungan seseorang dengan orang lain cenderung menjadi amat intim, saling mempercayai, saling terbuka, saling kerjasama, dan saling  memberikan komitmen yang kuat. Penelitian Flanagan (1978) menemukan bahwa pasangan hidup suami istri, anak dan teman merupakan pilar paling utama bagi keseluruhan penciptaan kebahagiaan manusia, baik laki-laki mapun perempuan. Perkawinan dan persahabatan secara signifikan berkontribusi kepada kebahagiaan hidup.
Paparan tentang  hakikat, tujuan dan tugas kehidupan manusia di atas sebagai hasil olah pikir atau nalar (nadhar) para ahli mempunyai implikasi kepada layanan bimbingan dan konseling.
Bagi bangsa Indonesia yang menjadi landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah Pancasila, yang nilai-nilainya sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai mahluk Tuhan yang bermartabat. Sehubungan dengan hal itu, program bimbingan dan konseling harus merujuk kepada nila-nilai yang terkandung dalam kelima sila pancasila tersebut. Pancasila sebagai landasan bimbingan dan konseling mempunyai implikasi sebagai berikut.
a.       Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dengan nilai-nilai yang  terkandung dalam setiap sila Pancasila.
b.      Konselor seyogianya menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu beriman dan bertakwa, bersikap respek terhadap orang lain, mau bekerjasama dengan orang lain, bersikap demokratis, dan bersikap adil terhadap para siswa.
c.       Perlu melakukan penataan lingkungan (fisik dan sosial budaya) yang mendukung terwujudnya nila-nilai Pancasila  dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat pada umumnya.


BAB III
KESIMPULAN


Landasan filosofis bimbingan terkait dengan cara pandang para ahli berdasarkan olah pikirnya tentang hakikat manusia, tujuan dan juga hidupnya di dunia ini, serta upaya-upaya untuk mengembangkan, mengangkat atau memelihara nilai-nilai kemanusiaan manusia.
Bimbingan merupakan kegiatan manusiawi yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi insaniah manusia, sehingga manusia senantiasa berada dalam alur kehidupan yang bermartabat dan beradab.
Konselor seyogianya memiliki pemahaman yang mendalam tentang filsafat manusia (filsafat antropologis) agar memiliki pedoman yang akurat dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada klien ke arah kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki klien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar